Ninabobo Biru




No matter how far we’ve apart, our love will be last longer than the distance.


          Kakek tua itu tinggal di sebuah desa yang lebih sering bersalju daripada hujan, di sebuah dataran tinggi penuh jeram, yang airnya sebening kristal. Di sana kamu tak akan menemukan kendaraan bermotor, atau ponsel. Tidak ada awan hitam industri, yang ada hanya polusi asap rokok yang sering dilakukan para lansia di desa itu. Menyulut cerutu dan membuat bentuk-bentuk aneh dari asapnya.

          Gadis kecil itu, masih berusia lima tahun ketika ia akhirnya pindah ke dataran seberang bersama orang tuanya, ke sebuah kota di mana lebih sering bersalju daripada hujan. Tetapi salju yang turun berwarna kelabu, turun ke selokan industri dan terbuang begitu saja ke pembuangan. Tidak ada yang merokok di kota itu, tetapi asap di mana-mana. Udara menjadi sesak dihirup, namun orang-orang enggan menutup paru-paru begitu saja. Mereka harus bernafas.

          Dulu, semasa kecil, gadis itu masih serumah dengan si Kakek tua, mereka suka membuat boneka salju berbentuk anjing yang tadinya akan dibentuk seperti Bonnie, anjing Siberian Husky milik si kakek, tetapi jadinya tak lebih dari gundukan salju yang kemudian dijadikan benteng pertahanan dalam perang bola salju antara kubu si Gadis kecil dan si Kakek tua. Selain bermain salju, si Gadis kecil suka sekali menggambar dengan krayon berwarna biru, apapun gambarnya. Dia sering membawa sebuah buku sketsa kecil dan sebuah krayon biru yang sengaja ia ambil dari kotak pewarnanya. Kegiatan lain yang menjadi favorit si Gadis kecil itu adalah mendengarkan si Kakek tua bernyanyi sambil memetik gitar.
          Suara si Kakek mirip suara Peabo Bryson yang menyanyikan lagu ‘A Whole New World’. Lagu favorit si Gadis kecil adalah lagu berjudul ‘Longer’ yang dinyanyikan oleh Dan Fogelberg.

Longer than there've been fishes
In the ocean
Higher than any bird ever flew
Longer than there've been stars
Up in the heavens
I've been in love with you.

Dinyanyikannya lagu itu oleh si Kakek hingga si Gadis kecil tertidur.
“Itu adalah melodi paling indah yang pernah kudengar.” ujar si Gadis sebelum matanya terlelap.

Saking sayangnya si Gadis kecil pada si Kakek, terjadi perpisahan memilukan ketika akhirnya kedua orang tua si Gadis kecil memilih untuk menempati rumah baru mereka. Si Gadis kecil yang baru berusia lima tahun hanya tahu bahwa sudah saatnya ia bersekolah, dan sekolah yang dimaksud kedua orang tuanya hanya ada di kota.

“Aku akan sering berkunjung, Sayang.” kata si Kakek pada cucunya.

Si Gadis kecil lalu mengacungkan jari kelingkingnya, membuat janji kekanak-kanakan seperti anak kecil pada umumnya, tetapi bagi si Gadis kecil, janji ini sangat sakral. Si Kakek pun melingkarkan jari kelingkingnya yang sudah berkeriput ke jari kelingking cucunya. Dilihatnya bibir cucunya yang merah muda mengerucut karena kesal, dan matanya pun ikut memerah, tak lama si Gadis kecil menangis dan memeluk kakeknya.

“Nggak ada bola salju, nggak ada krayon biru, nggak ada gitar, nggak ada Kakek.” ujarnya di sela-sela sesengguk tangisnya.

Dalam lambaian tangan tanda perpisahan, ketika si Gadis kecil mulai masuk ke dalam mobil dan melaju, si Kakek tau bahwa ia harus melanggar satu janji dengan cucunya. Karena ia tahu ia takkan mungkin berkunjung. Si Gadis kecil tidak tau betapa jauh jarak memisahkan mereka. Bukan hanya sekedar jalanan melintasi dua daratan, si Kakek tidak tau bisa bertahan hidup berapa lama lagi di usianya yang hampir 70 tahun, dengan cerutu di tangannya yang lama-lama menggerogoti paru-parunya. Pria tua itu berharap si Gadis kecil lupa seiring ia tumbuh dewasa di kota barunya. Lupa dengan janji jari kelingking yang ketika si Kakek mengingatnya, selalu membuat jantungnya berdetak sedih.
         
          Jauh di kota, si Gadis kecil tumbuh dewasa, bergelar Bachelor of Art dari sekolah kepribadiannya. Ia terpaksa menikmati salju kotor, melihat selokan berair sehitam tinta, dan terpaksa selalu bersedih karena bergitu merindukan kejernihan desa kakeknya, juga menyadari kenyataan bahwa kakeknya tidak mengunjunginya. Di waktu malam, ia merindukan suara petikan gitar kakeknya. Menyanyikan lagu ‘Longer’ yang hingga saat itu sudah fasih dihafalnya. Sesekali dilihatnya sosok kakeknya bermain gitar di sampingnya, lalu ketika ia hendak menyentuh tangannya, ia hanya menyentuh udara kosong. Pernah suatu kali, ia mengirim surat kepada kakeknya, tetapi entah surat itu sampai atau tidak, si Gadis tidak tahu.
          Di bulan Desember, ulang tahunnya tiba. Salju turun sedikit aneh hari itu. Warnanya putih bersih, tidak ada salju kotor dan air selokan pun kering karena membeku, padahal di tahun tahun sebelumnya, air selokan selalu panas karena limbah pabrik. Orang tuanya sedang pergi ke sebuah teater musim dingin sedangkan ia memilih untuk di rumah. Menikmati fenomena aneh itu. Di bukanya jendela rumah dan gunungan salju mengumpul di dekat jendelanya. Ia pun memilih berjalan-jalan di taman, melihat permadani putih membentang. Membuat kekotoran kota menjadi sebening desanya dulu. Ia berjalan menyusuri jembatan taman, membayangkan sungai berair sebening kristal mengalir dengan aroma pohon cedar, siprus, pinus, dan maple membaur menjadi satu meskipun di jembatan kota itu hanya ada pohon kurus kerontang. Jam kota berdentang, yang berarti sudah saatnya untuk pulang.
Mungkin Tuhan kasihan denganku, pikir si Gadis sambil tertawa getir melintasi malam. Entah cuaca terlalu dingin atau hatinya yang terlanjur beku hingga ia tidak bisa menangis. Mungkin memang kakeknya tidak akan kembali lagi padanya.
Sesampainya di teras rumah, terdengar riuh suara dari dalam rumah. Mungkin orang tuanya sibuk menyiapkan kejutan ulang tahun, atau ada tamu. Di bukanya pintu depan dan pemandangan yang dilihatnya hampir membuatnya menjatuhkan mantel yang tadinya akan ia gantungkan.
Seorang pria berdiri di samping ibunya, ia mengenakan mantel dan celana khaki. Atau lebih tepatnya, seorang pria yang sudah sangat tua yang sedang tersenyum, mengenakan topi ulang tahun anak-anak yang terbuat dari daun-daun pohon maple merah yang hanya bisa tumbuh di dataran yang benar-benar bersih. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kertas yang berisi sebuah gambar gadis kecil sedang meniup kue ulang tahun dengan empat lilin di kuenya, sebuah gambar yang dibuat dengan krayon biru.

“Aku sudah bilang, aku akan datang berkunjung, kan?” ujar pria tua itu.

Tanpa sepatah kata, si Gadis itu langsung memeluk pria tua itu hingga pria itu hampir terjatuh, dua orang suster langsung memegangi lengan pria itu, tapi ia yang tak lain adalah si Kakek tua hanya tertawa melihat cucunya, begitu juga si Gadis yang tidak pernah menyangka akan bertemu kakek tersayangnya lagi. Ketika pelukan-beruang itu selesai, si Gadis bingung melihat dua orang suster yang ada di samping kakeknya, dan sebelum ia melontarkan sepatah kata, kakeknya menyela.

“Salju turun bersih di kota, sebaiknya kita lihat-lihat sebelum salju berubah jadi kelabu,” kata si Kakek.

Si Gadis yang masih lupa cara berbicara hanya mengangguk dan tersenyum seperti anak kecil di depan kakeknya. Mereka berdua kemudian menghabiskan sisa waktu di beranda rumah. Di temani secangkir coklat panas dan kraker lemon.

“Kau sudah dewasa.” kata si Kakek.
“Dan kau bertambah tua.” kata si Gadis.
“Usia tidak pernah memudarkan kasih sayang, aku masih kakekmu yang dulu.”
“Dan kau datang di saat yang tepat,” ucap si Gadis sambil tersenyum. “Tapi aku belum membeli kue tart dan sekarang butuh delapan belas lilin, bukan empat.”
Si Kakek tertawa, suaranya jauh lebih parau dibanding tiga belas tahun yang lalu. Si Gadis ingin sekali menanyakan keadaan kakeknya, tetapi ia tidak mau mengganggu suasana hati baik kakeknya dan dirinya sendiri setelah sekian lama terpisah.
“Kita bisa melihat salju dari jendela rumah, di luar dingin, ayo kita masuk.” ujar si Gadis lalu menuntun kakeknya berjalan masuk. Mengingatkannya tentang saat ia belajar berjalan bersama kakeknya, dan menyadari waktu berlalu begitu cepat.
Di dalam rumah, sebuah gitar terpajang di sudut ruangan. Si Kakek mengambil gitar itu dan mengecek tiap senar.
“Kau masih ingat lagu favoritmu?” tanya si Kakek.
“Tidak lupa satu not pun.”
Si Kakek tersenyum, “Aku menyayangimu,” ujarnya dengan suara parau.
Si Gadis tersenyum, diam selama beberapa saat. “Itu melodi terindah yang pernah kudengar.”
Si Kakek tertawa, “Tentu saja! Dan Fogelberg itu musisi yang sialan jeniusnya, dan ‘Longer’ adalah sebuah mahakarya!”
“Tidak, Kek,” sanggah si Gadis. “Aku tidak membicarakan lagu itu.”
Si Kakek pun bingung,
“Melodi itu, yang paling indah,” ujarnya, “suaramu ketika kau mengatakan ‘aku menyayangimu’, adalah melodi paling indah yang pernah kudengar. Mungkin mengalahkan mahakarya milik Fogelberg.”
Si Kakek tidak sanggup berkata-kata.
“Dan terima kasih sudah hadir di hari ulang tahunku.” ujar si Gadis sambil mengelap air matanya yang menetes dari pelupuk mata kanannya.
Memecah keheningan, kakek itu tersenyum dan mulai mencoba memainkan gitar, tetapi tangannya terlampau kaku untuk sekedar memetik beberapa not. “Kurasa tidak akan ada ‘Longer’ untuk hari ini, mungkin besok ketika—“
Si Gadis memotong perkataan kakeknya seraya mengulurkan tangannya dan mengambil gitar itu dari tangan kakeknya. Ia tersenyum kepada kakeknya. Si Kakek pun kembali tertawa, dengan setitik air mata di pelupuk kanannya.
“Jadi, bisakah kau menyanyikan ‘Longer’ untuk kakek, Sayang?”
Si Gadis itu mengangguk.

Longer than there've been fishes
In the ocean
Higher than any bird ever flew
Longer than there've been stars
Up in the heavens
I've been in love with you.



Kedua suster berjaga di dekat sofa, mengamati mereka berdua sedangkan kedua orang tua si Gadis berada di dekat pintu, menangis. Dalam suara si Gadis yang lembut, si Kakek tak pernah tak memandang gadis kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa. Sesekali ia melirik suster yang ada di dekatnya, mengingat percakapan terakhir yang mereka lakukan.

“Apa anda yakin, alat-alat bantu ini harus dilepas sekarang?” tanya suster itu.
“Sudah terlalu lama, sudah cukup.” ujar si Kakek.
“Tapi setelah ini, Anda harus masuk ke Sanatorium. Bukankah anda menolak di rawat di sana?”
“Aku sudah mengambil keputusan.”
“Baiklah, itu keputusan yang bijak mengingat—”
“Tapi bolehkah aku mengajukan satu syarat?”
“Apa itu, Tuan?”
“Aku berjanji untuk mengunjungi cucuku, setidaknya biarkan aku menemui cucuku dulu.”
“Tapi Tuan—“
“Sudah terlalu lama, suster. Saya mohon.”
Suster itu mengagguk dengan berat hati.

Si Kakek duduk bersandar di sofa, ditemani suara cucunya yang masih sama lembutnya seperti dulu.
“Bukankah ini lagu ninabobo yang indah?” ujar si Kakek. Dilihatnya si Gadis menatapnya lekat-lekat, khawatir.

“Teruslah bernyanyi, Sayang. Tidak apa-apa.”

           Stronger than any mountain cathedral          
           Truer than any tree ever grew          
           Deeper than any forest primeval          
           I am in love with you.


          Bibir si Kakek terlihat membiru seiring lagu beralih ke refrainnya. Tetapi lagu terus berjalan. Mengiringi waktu tidurnya yang semakin dekat.

I'll bring fire in the winters
You'll send showers in the springs
We'll fly through the falls and summers
With love on our wings.

Tetes demi tetes, si Gadis pun menangis, tetapi ia tidak mau terlihat bersedih di depan kakeknya.

Through the years as the fire
Starts to mellow
Burning lines in the book of our lives
Though the binding cracks 
and the Pages start to yellow
I'll be in love with you.

Hingga si Kakek terlelap, si Gadis tetap bernyanyi.

Longer than there've been fishes
In the ocean
Higher than any bird ever flew
Longer than there've been stars
Up in the heavens
I've been in love with you

Dalam cahaya terakhirnya, si Kakek tersenyum melihat cucunya, berkata ia dalam diam, “Aku sudah memenuhi janjiku, kan, Sayang?”





I am in love with you...





Komentar