Harmoni Abstrak

            Yang satu pelukis.
            Yang satu pemusik.
            Dua penikmat seni yang saling jatuh cinta.
           
            Tapi tahu apa mereka tentang cinta? Yang mereka tahu hanya bagaimana membuat sebuah kekosongan dan keheningan menjadi sesuatu yang lebih indah. Mereka punya bahasa sendiri, mungkin mereka alien? Tidak ada yang tahu. Mereka bahkan tidak peduli apa itu ‘i love you’, ‘ich liebe dich’, dan sebagainya. Karena bagi mereka, itu cuma masalah aksara.
            Sejujurnya, mereka sendiri tidak menggunakan aksara dalam berbicara, bahkan mereka pun tidak pernah benar-benar berbicara secara verbal. Keduanya saling mengerti isi hati masing-masing dari warna-warna yang disapukan kuas. Kelabu jika sendu, jingga jika ceria, begitupula pemusik yang selalu memoles saksofon-nya sebelum bermain dengan nada. Pelukis itu tahu isi hati pemusik pujaannya hanya dari titi nada yang ia mainkan. Mereka saling mengerti hanya dengan gestur-gestur yang mengalirkan untaian kalimat-kalimat tulus.
Mereka selalu tahu, tanpa berbicara..
           
            Melukis apa hari ini?
            Pemusik itu bertanya pada si pelukis yang hanya memandangi kanvas kosong sepanjang sore. Paviliun lukis di kampus selalu sunyi, karena dipenuhi pelukis-pelukis yang serius, tidak seperti studio musik kampus yang selalu berisik dengan para pemusik-pemusik ber-ego tinggi yang hanya mendambakan kesempurnaan dalam memainkan instrumen. Sementara si Pemusik menyukai tempat yang tenang.
            Entahlah, aku tidak tahu.
            Pelukis itu menjawab dengan isyarat tangannya yang lentik. Terlihat di celah-celah kukunya, cat-cat akrilik kering warna-warni menempel bekas melukis gaya van Gogh kemarin pagi.
            Kenapa kau tidak melukis dirimu sendiri?
            Pemusik itu menyentuh bahu si Pelukis agar dapat mengerti isyaratnya, lalu si Pemusik memainkan nada dari lagu You’re Beautiful dengan saksofon-nya. Pelukis yang mendengarnya, langsung tertawa dalam sunyi, tetapi tak ada yang bisa menutupi suasana hatinya yang riang.
            Meniru karya Yang Mahaindah katamu? Aku tidak berani.
            Pelukis itu menggelengkan kepala, memberikan sedikit isyarat dengan tangan, lalu telunjuknya menunjuk rendah ke atas, diikuti dengan pandangan matanya. Si Pemusik mengangguk-angguk mengerti.
            Kau suka melukis pohon, bunga, binatang, bukankah mereka juga sama-sama mahakarya-Nya?
            Pemusik itu meletakkan saksofonnya di pangkuannya, lalu dengan tangan tegasnya, membuat isyarat dengan kedua tangan meninggi sebagai ‘pohon’, sebuah bola jari yang merekah sebagai ‘bunga’ dan mengepakan kedua telapak tangannya seperti kupu-kupu sebagai ‘binatang’.
            Pelukis itu melepaskan ikat rambutnya dan membiarkan rambut lurusnya tergerai pendek sepanjang bahu. Ia menerawang jauh, melihat pohon pinus yang diterpa angin sepoi-sepoi, dan melihat strobilus pinus yang tumbuh di sela dedaunan tajamnya dan berwarna kecoklatan jatuh dua, tiga buah.
            Tidak tahu. Aku tidak suka melukis manusia.
            Pelukis itu mengisyaratkan ‘manusia’ sebagai gerakan jari yang sedang membuat bingkai di bagian wajahnya.
            Kenapa? Memang manusia tidak berseni?
            Si Pemusik membingkai wajahnya sendiri sebagai isyarat ‘manusia’ lalu kembali bertanya padanya.
            Berseni? Seni? Memang apa itu seni?
            Pelukis itu mengisyaratkan kepada laki-laki yang lebih tua lima tahun darinya di sebelahnya. Pemusik itu berpikir sambil menekan beberapa nada di saksofonnya.
            Tidak pernah terpikir pertanyaan itu di benakku, bagaimana menurutmu?
            Pemusik itu balik bertanya pada si Pelukis yang masih saja mengerutkan keningnya.
            Aku tidak tahu apa itu seni.
            Isyarat itu hanya berupa gelengan kepala sebanyak dua kali dan gerakan mengedikkan bahu sekali.
            Lalu bagaimana bisa kita bisa begitu mencintai seni jika kita saja tidak tau seni itu apa?
            Si Pemusik menggunakan isyarat berupa ibu jari yang ditemukan dengan ibu jari lainnya dan telunjuk ditemukan dengan telunjuk lainnya hingga membentuk sebuah bangun belah ketupat. Ia sepakat dengan si Pelukis untuk menggunakannya sebagai pengganti kata ‘seni’ yang tak kunjung keluar dari mulut mereka—mereka benar-benar punya bahasa sendiri.
            Kamu sendiri, mengapa bermain musik?
            Pelukis itu mulai mengeluarkan kuas berukuran satu dan tiga, dan mulai mencampurkan warna dasar kuning dan biru dengan rasio akurat—perkiraan si Pelukis sangat mengagumkan!—menjadi warna Tuscan green yang indah.
            Kamu sendiri, mengapa melukis? Apa yang kamu cintai dari seni yang tidak terjelaskan itu?
            Pemusik itu mengisyaratkan ‘jelaskan’ sebagai gerakan sapuan tangan yang melingkar di sekitar mulut, lalu telapak tangannya terbuka di akhir gerakan.
            Apa yang kamu cintai dari nada-nada acak itu?
            Pelukis itu membuat bulatan-bulatan dengan tangannya, menaikkannya ke atas ke bawah sebagai isyarat ‘acak’ dan gerakan gelombang menggunakan telapak tangannya sebagai ‘nada’ atau ‘lagu’.
            Mengapa hijau itu yang kau pakai? Bukan hijau seperti daun pohon pinus?
            Mengapa saksofon? Bukan gitar atau harpa?
            Mengapa kuas? Bukan jemarimu yang panjang itu?
            Mengapa C kres minor? Bukannya C mayor?
Semua pertanyaan itu seolah mengalir. Mereka saling mempertanyakan alasan terhadap pertanyaan yang sangat filosofis itu. Si Pelukis menggoreskan kuasnya secara acak, dengan warna-warna berspektrum kuning pucat hingga hijau gelap. Alhasil terbentuklah pusaran-pusaran tidak menentu di kanvasnya, ada beberapa bagian kanvas dengan cat yang tebal, lalu ada bagian dengan cat yang tipis. Semua tidak teratur, tapi... indah.
Pemusik itu, ia berdiri dan melihat uraian nada-nada yang dibuatnya setelah pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat. Ia hanya menuliskan empat birama dengan notasi angka yang tidak teratur. Ia memainkannya sekali, lalu mengubah jumlah ketukan nada-nadanya, memberi dinamik dan mengatur temponya, alhasil ia membuat sebuah lagu supersingkat yang anehnya, indah.
Kita mencintai hal-hal yang indah. Seni itu indah.
Pelukis itu meletakkan kuasnya tanpa sadar, lalu membuat gerakan seperti menyimpan sesuatu di dalam tangan lalu menekannya tepat di atas jantung yang artinya ‘mencintai’ kemudian memandangi lukisannya. Pemusik itupun menyimpan nada-nada itu di memori otaknya, lalu terbesit sebuah logika.
Bagaimana dengan kita?
Si Pelukis melihat isyarat si Pemusik, lalu ia mulai kembali menerawang jauh. Pemusik itu benar, bagaimana dengan diri mereka sendiri? Pikir si Pelukis.  Indah tak hanya apa yang dirupa, tapi juga didengar, dengan kata lain, sebuah kesempurnaan. Tapi di antara mereka, tak ada apapun. Hanya keheningan. Ketidaksempurnaan.
Jadi, kita tidak indah?
Pelukis itu menekuk jari telunjuk, jari tengah dan jari manisnya dalam genggaman, sedangkan jari kelingking dan ibu jari tetap berdiri, lalu timbul gerakan maju-mundur dengan tangan itu yang mengisyaratkan kata ‘kita’.
Kurasa ada yang salah.
Pemusik itu kembali melihat lagu singkatnya. Sementara si Pelukis melihat lukisannya. Mereka berdua berpikir hal yang sama sewaktu akhirnya mereka saling bertatapan.
Apa menurut orang lain, karya kita indah?
Si Pelukis itu mengisyaratkan ‘indah’ sebagai gerakan sapuan satu telapak tangan membentuk lengkungan seperti pelangi. Pertanyaan si Pelukis membuat si Pemusik menemukan sesuatu di dalam benaknya.
Kau peduli dengan kata orang lain terhadap apa yang kita cintai?
Si Pemusik itu tersenyum kepada si Pelukis.
Mengapa kau tersenyum?
Si Pelukis yang keheranan melempar tatapan curiga pada si Pemusik.
Tidakkah kau mengerti juga? Jawabannya ada di depan matamu.
Senyum si Pemusik semakin lebar ketika melihat perempuan di depannya semakin bingung. Lalu si Pemusik mengisyaratkan kalimat yang membuat si Pelukis ikut mengembangkan senyumnya. Keduanya tertawa setelahnya, ya, hanya sekedar membuka mulut dan bahu yang berguncang, tapi tanpa suara. Kalimat itu membuat si Pelukis dan si Pemusik, yang sebenarnya bernama Sophia dan Robin—yah, kadang-kadang menyebut seseorang dengan keahlian mereka terasa menyenangkan dan klasik—lebih memaknai apa yang dihadirkan untuk mereka, ternyata adalah yang terbaik yang bisa diberikan Yang Mahaindah bagi mereka. Kurang lebih, kalimat yang dikatakan si Pemusik—maksudku, Robin, seperti ini :

Kita mencintai hal yang kita anggap indah, kau mengerti? Yang kita anggap indah saja.
Tidak peduli secacat apa orang lain berkata
           
Aku hanya mengamati gerak-gerik mereka dari kejauhan, di sebuah paviliun usang di sebelahnya. Dengan semak rambat tua di tiang-tiangnya, dan guguran daun layu yang membuat mozaik kasar di lantai batu. Aku melukis pemandangan mereka berdua. Ah, andai saja kisah cintaku seperti itu, mungkin aku tidak akan seiri ini pada mereka. Kugenggam gelang tali dengan manik-manik burung hantu di tengahnya. Sebuah pemberian manis dari seseorang yang dulu memujiku seperti burung hantu yang bijak. Kalian pernah lihat burung hantu? Kalian tahu kepala burung hantu bisa berputar nyaris tiga ratus enam puluh derajat? Itulah asal filosofi mengapa burung hantu menjadi lambang kebijaksanaan, karena mereka bisa melihat segalanya dari segala sisi. Tapi aku tidak akan bertemu dengan orang itu lagi, dan sayangnya, memang ia sudah lama pergi, dan takkan pernah kembali lagi padaku—kalian tahu maksudnya, kan?

Melihat Sophia dan Robin seperti melihat karya seni. Seperti sebuah harmoni yang abstrak, di mana tidak semua orang bisa mengerti tentang mereka, layaknya lukisan abstrak. Tetapi adakalanya mereka terlihat begitu saling melengkapi satu sama lain, seperti kunci-kunci akord yang harmoni. Abstrak, tapi harmonis. Seni dan cinta itu sama-sama aneh, ya? Tapi dibalik itu semua, mereka indah.

Sangat indah..

Komentar